Penggunaan organ tubuh mayat manusia untuk pengobatan manusia dan untuk kelangsungan hidupnya merupakan suatu kemaslahatan yang dituntut syarak. Oleh sebab itu, menurutnya, dalam keadaan darurat organ tubuh mayat boleh dimanfaatkan untuk pengobatan. Akan tetapi, pemanfaatan organ tubuh mayat manusia sebagai obat tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Pengobatan tidak bisa dilakukan, kecuali dengan organ tubuh mayat manusia; - Manusia yang diobati itu adalah orang yang haram darahnya (seorang muslim yang memelihara kehormatannya); apabila jiwa yang akan diselamatkan itu adalah orang yang halal darahnya (seperti seseorang yang telah melakukan pembunuhan dan akan dikenakan hukuman kisas, atau seseorang yang akan dikenai hukuman rajam karena berbuat zina), maka pemanfaatan organ tubuh mayat tidak dibolehkan baginya; - Penggunaan organ tubuh manusia itu benar-benar dalam keadaan darurat; dan penggunaan organ tubuh mayat manusia itu mendapatkan izin dari orang tersebut (sebelum ia wafat) atau dari ahli warisnya (setelah ia wafat).
Kalangan ulama mazhab juga sependapat untuk tidak membolehkan transplantasi organ tubuh manusia yang dalam keadaan koma atau hampir meninggal (tipe kedua). Sekalipun harapan hidup bagi orang tersebut sangat kecil, ia harus dihormati sebagai manusia sempurna. Dalam kaitan dengan ini, Ibnu Nujaim (w. 970 H/1563 M) dan Ibnu Abidin (1198 H/1784 M-1252 H/1836 M), dua tokoh fikih Mazhab Hanafi, menyatakan bahwa organ tubuh manusia yang masih hidup tidak boleh dimanfaatkan untuk pengobatan manusia lainnya, karena kaidah fikih menyatakan: “suatu mudarat tidak bisa dihilangkan dengan mudarat lainnya.” Pernyataan senada juga muncul dari Ibnu Qudamah, tokoh fikih Mazhab Hanbali, dan Imam an-Nawawi, tokoh fikih Mazhab Syafi’i. Akan tetapi, para ulama fikih berbeda pendapat mengenai pengambilan organ tubuh untuk pengobatan dari orang yang telah dijatuhi hukuman mati, seperti orang yang dikisas, dirajam karena berbuat zina, atau murtad. Jumhur ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab az-Zahiri, berpendapat bahwa sekalipun orang tersebut telah dijatuhi hukuman mati, bagian tubuhnya tidak boleh dimanfaatkan untuk pengobatan, walaupun dalam keadaan darurat. Sebaliknya, ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali berpendirian bahwa dalam keadaan darurat organ tubuh orang yang telah dijatuhi hukuman mati boleh dimanfaatkan untuk penyembuhan orang lain, dengan syarat bahwa pengambilan organ tersebut dilakukan setelah ia wafat.
Dalam kaitan dengan ini, menurut Abu Hasan Ali asy-Syazili, tidak ada salahnya apabila dokter melakukan pemeriksaan organ tubuh terpidana, apakah bisa ditransplantasi atau tidak, sehingga pengambilan organ tersebut tidak sia-sia. Di samping itu, pengambilan organ tubuh tersebut harus diawasi oleh hakim dan dilakukan di bawah koordinasi dokter-dokter spesialis.
Memperjualbelikan dan Menyumbangkan Organ Tubuh.
Persoalan lain yang menyangkut transplantasi organ tubuh adalah jual-beli atau sumbang organ tubuh kepada orang yang memerlukannya. Dalam berbagai literatur fikih ditemukan pernyataan para ulama fikih yang tidak membolehkan seseorang memperjualbelikan organ tubuhnya karena hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri. Sikap mencelakakan diri sendiri dikecam oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam surah al-Baqarah (2) ayat 195 tersebut di atas. Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Ayyub bin Musa al-Hanafi az-Zaila’i (w. 762 H/1360 M), tokoh fikih Mazhab Hanafi dalam kitab fikihnya, Path al-Qadir, menyatakan bahwa ulama Mazhab Hanafi sepakat menyatakan bahwa tidak boleh memperjualbelikan organ tubuh manusia. Pernyataan senada juga muncul dari Imam al-Qarafi (w. 684 H/1285 M) dari kalangan Mazhab Maliki, Imam Badruddin az-Zarkasyi (745-794 H) dari kalangan Mazhab Syafi’i, dan Ibnu Qudamah dari kalangan Mazhab Hanbali. Organ tubuh manusia, menurut mereka, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia itu sendiri, karena masing-masing organ tubuh mempunyai fungsi yang melekat dengan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, memperjualbelikan bagiannya sama dengan memperjualbelikan manusia itu sendiri. Memperjualbelikan manusia diharamkan oleh syarak.
Pendapat senada juga dikemukakan ulama Mazhab az-Zahiri. Menurut mereka, seluruh benda yang haram dimakan, haram pula diperjualbelikan. Pembahasan tentang menyumbangkan organ tubuh manusia untuk kepentingan pengobatan orang lain dimulai oleh para ulama fikih berdasarkan dua kaidah populer: (1) setiap yang boleh diperjualbelikan, boleh disumbangkan; dan (2) orang yang tidak memiliki hak untuk bertindak hukum pada suatu benda, tidak boleh memberi izin (memanfaatkan benda itu) kepada orang lain. Kaidah pertama menunjukkan bahwa setiap benda yang boleh diperjualbelikan boleh pula disumbangkan. Dalam pembahasan di atas, seluruh ulama fikih menyatakan bahwa organ tubuh manusia tidak boleh diperjualbelikan. Berdasarkan kaidah kedua, menurut para ulama fikih, seseorang tidak memiliki hak bertindak hukum.
Post a Comment