Keberhasilan Indonesia meraih “Medali Demokrasi” menjadi berita utama di halaman muka sejumlah media cetak di Tanah Air. Harian Republika menulis, medali tersebut diberikan oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik)sebuah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh duniakarena Indonesia merupakan negara pertama berpenduduk mayoritas Muslim yang dinilai melakukan proses demokrasi dengan sungguh-sungguh. Ketua Komite Konferensi Dunia IAPC ke-40, Pri Sulisto, di Nusa Dua, Bali (12/11), mengatakan, bukti bahwa Indonesia berhasil mengembangkan dan mempraktikkan demokrasi adalah suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2004 yang mengantarkan SBYdari parpol yang baru terbentukmenjadi presiden. (Republika, 12/11/07).
Pemilu yang demokratis tentu tidak bisa dijadikan ukuran suksesnya sebuah negara, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan kemakmuran warga negaranya. Berdasarkan laporan penelitian Guru Besar Ilmu Politik University of California, Los Angeles (UCLA) Michael Ross, yang diberi judul, “Is Democracy Good for the Poor?” Pemerintahan yang demokratis terbukti tidak mendorong perbaikan kesejahteraan kaum termiskin. Setidaknya itulah yang terjadi di 169 negara dalam kurun waktu 1970-2000.
Demokrasi identik dengan jargon “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Secara teoretis memang demikian. Justru di sinilah pangkal persoalan demokrasi, khususnya jika dilihat dari sudut pandang ajaran Islam yang hanya mengakui “kedaulatan Ada Pada Hukum Syariah”. Dalam demokrasi, rakyat (manusia) diberi kewenangan penuh untuk membuat hukum, termasuk membuat hukum yang bertentangan dengan syariah. Inilah yang terjadi di negara-negara yang menerapkan demokrasi, termasuk Indonesia. Padahal dalam Islam, hanya Allah yang berhak menetapkan hukum. Allah befriman : Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik."(QS an-An'am : 57), yakni dengan memberikan kewenangan kepada penguasa (khalifah) untuk mengadopsi hukum dari al-Quran dan as-Sunnah, dengan didasarkan pada ijtihad yang benar. Adapun secara praktis, kedaulatan rakyat sebetulnya hanyalah 'lipstik'. Faktanya, di Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa, yang bahkan sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal dan negara-negara asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden -yang juga langsung dipilih oleh rakyat- sering bertabrakan dengan kemauan rakyat. Betapa sering kebijakan Pemerintah yang diamini para wakil rakyat justru didemo oleh rakyat sendiri.
Salah satu produk demokrasi ialah kebebasan berpendapat. Olehkarena itu dampak buruk akibat kebebasan berpendapat ialah muncul ide-ide kufur seperti pendapat yang mengatakan bahwa syariah Islam jika diterapkan, akan mengancam keutuhan NKRI, menimbulkan disintegrasi, dll. Syariah Islam tidak pantas diterapkan di Indonesia karena masyarakatnya tidak beragaman Islam semua, Syariat Islam sudah kuno, Indonesia bukan negara Islam dsb. Mereka yang berpendapat demikian, yang jelas-jelas melecehkan Islam, juga dibiarkan dengan alasan KEBEBASAN PENDAPAT. Mereka dibiarkan menghina hukum-hukum Allah tanpa pernah bisa diajukan ke pengadilan.
Post a Comment