Pernahkah kita merasakan kepenatan atau kelesuan? Ada apa dengan diri kita, sehingga menjadi penat? Boleh jadi kita menjawab, tidak ada kesengajaan. Atau boleh jadi kita bisa menjawab, toh diri kita bukanlah hasil buatan kita, sehingga bisa seenaknya dipenatkan dan dilesukan. Bagi diri yang punya “perasaan”justru semestinya berhati-hati terhadap sesuatu yang bukan buatan atau bukan miliknya. Karena jika sampai rusak, akan diminta pertanggung jawaban yang punya. Jadi jika kita penat atau lesu bisa saja karena kita belum merasa bahwa diri kita bukan milik kita, atau rasa kita telah mati.
Apa yang kita punya pada diri kita, tetapi bukan milik kita. Coba kita amati diri kita sendiri. Ada apanya dalam diri kita? Pernahkah kita berpikir mengapa kita bisa duduk, atau berdiri, atau bisa melakukan sesuatu? Barangkali jawaban kita karena kita punya tenaga. Berapa besar manfaat tenaga yang ada dalam diri kita? Bisakah kita senantiasa mempertahankan tenaga yang ada untuk selama-lamanya?
Jika kita bisa paham bahwa ternyata segala sesuatu yang ada pada diri ternyata tidak bisa diadakan, atau ditiadakan sekehendak kita, maka kita akan paham pula bahwa ada kehendak yang Maha Luar Biasa kuatnya yang mampu berkehendak terhadap segala sesuatu yang ada pada diri kita. Itulah Pencipta, yang mencipta sekaligus memiliki segala sesuatu. Yang tanpa meminta saja, kita telah diberi secara Cuma-Cuma. kita tinggal mendaya manfaatkannya. Maka diri yang mempunyai kehalusan rasa akan senantiasa berhati hati dalam mendaya manfaatkan potensi yang ada, senantiasa berupaya agar pemanfaatan potensi yang ada selaras dengan kehendak yang memberi dan yang memiliki potensi. Dia senantiasa mengupayakan agar potensi yang ada dalam dirinya bermanfaat bagi dirinya serta lingkungannya.
Apa yang telah diberikan ALLAH pada kita, dan yang bisa kita daya manfaatkan? Itulah ruh, rasa, hati, akal dan nafsu. Tapi yang sering terjadi adalah melupakan bahwa jiwanya adalah rajutan ruh, rasa, hati, aqal merupakan sebuah titipan. Sehingga tidak mengikuti aturan Sang Pemilik Sejati, dan ujung ujungnya ketidakseimbangan dan kerusakan di dalamnya. Contoh rusaknya potensi dalam diri manusia adalah; bisakah manusia meraskan rasa kasih sayang Allah yang senantiasa dicurahkan untuk manusia tanpa pamrih apapun?
"....sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur."(QS.2:243).
Pernahkah manusia berpikir, meskipun telah merusak,selalu diberi kesempatan untuk bisa memperbaikinya kembali. Dengan mendayamanfaatkan potensi tidak selaras dengan kehendak yang memiliki, terasalah dalam diri manusia timbul kepenatan, kelelahan, kelesuan, dan permasalahan yang tak kunjung reda. YANG LELAH DAN PENAT DALAM DIRI MANUSIA TIDAK LAIN POTENSI DALAM DIRINYA YAKNI RUH, RASA, HATI, AQAL, DAN NAFSU. Masing-masing berjalan menurut keinginannya, tidak ada keselarasan satu sama lain sebagaimana layaknya rajutan berkesetimbangan. Karena tidak berjalan selaras dan seimbang, pasti masing-masing potensi saling berbenturan yang menimbulkan kerusakan dan goncangan. Jadilah sekarang manusia yang bersangkutan sakit, baik sakit di hati, rasa, aqal dan tak terpuji perilakunya.
Bagaimana memperbaiki kerusakan-kerusakan tersebut? Cara memperbaikinya tidak lain berupaya melaras-luruskan rajutan halus tadi selaras dengan kehendak Pencipta, yakni melalui sholat. ”dan dirikanlah sholat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.”(QS. 11:14).
Kemudian akan timbul pertanyaan lagi, meskipun telah sholat, mengapa kepenatan datang silih berganti? Sholat akan mengobati kegundahan kita, jika yang kita agungkan hanyalah Allah, artinya di dalam hati kita tidak ada ILLah selain ALLAH. Sholat yang bisa menghapus kesalahan apabila segala aktivitas yang dilakukan tidak ada maksud apapun kecuali hanya karena ALLAH. Keterikatan dan ketergantungan hidup hanya pada ALLAH. Sikap demikian diawali dengan bertawadlu’ dan dalam setiap sholatnya senantiasa sadar dan merasa bahwa dirinya hina di hadapan SANG MAHA SUCI, hamba yang tak bisa menampilkan sifat terpuji.
Demikian ajaran islam, yang akan terwujud sangat indah ketika benar benar di tegakkan dalam kehidupan.
Post a Comment