Ketersediaan akan obat-obatan halal, sangatlah penting bagi negara yang berpenduduk mayoritas muslim ini. Namun apakah obat-obatan di negeri ini sudah halal? Dari data yang diperoleh dari LPPOM MUI menunjukkan bahwa sampai saat ini belum ada satu pun obat yang memiliki sertifikat Halal. Hanya ada beberapa produk cangkang capsul yang bersertifikat halal (antaranews.com; republika.co.id). Sangat disayangkan! Lebih memperihatinkan lagi sebuah analisa yang diungkapkan oleh salah seorang anggota ICMI dan Federation of Islamic Medical Association (FIMA) yang menyatakan, bahwa hampir 90% dokter Muslim di Indonesia tidak tahu halal dan haramnya obat yang beredar. Semua itu terjadi karena memang fakultas-fakultas kedokteran tidak pernah mengajarkan hal ini kepada mahasiswanya (hidayatullah.com). Luar biasa! Lalu siapa yang harus bertanggungjawab?
Ada beberapa titik krtitis obat yang menjadi sorotan tajam. Titik kritis obat tersebut yaitu ada pada alkohol yang digunakan sebagai pelarut obat batuk, penggunaan ginjal kera, sel kanker manusia, serum dari sapi, dan enzim untuk pembuatan berbagai jenis vaksin. Titik kritis obat ini juga ada pada gelatin babi yang digunakan sebagai bahan pembuatan cangkang capsul. Gelatin merupakan protein yang larut dan bisa bersifat sebagai gelling agent (bahan pembuat gel) maupun non gelling agent. Namun, selain berasal dari babi, bahan pembuat cangkang capsul bisa juga diperoleh dari sesuatu yang berasal dari sapi. Gelatin dari sapi inilah yang halal, asalkan sapi ini disembelih sesuai dengan syariat.
Kurangnya perhatian dan ketegasan dari pemerintah dan minimnya pengetahuan masyarakat akan obat-obatan halal menyebabkan para produsen obat tidak mengindahkan himbauan yang telah diberikan oleh MUI untuk mendaftarkan produknya agar memiliki sertifikat halal. Kebanyakan masyarakat menganggap mudah masalah obat ini karena menganalogikan bahwa obat termasuk perkara darurat, sehingga masyarakat kurang mempedulikan kehalalan obat ini. Padahal sudah tidak asing lagi bagi kita, bahwa parameter darurat adalah ketika jiwa tengah terancam.
Lalu bagaimana hukum berobat dengan barang haram?
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya berobat dengan suatu zat yang najis atau haram. Setidaknya ada tiga pendapat :
1. Jumhur ulama mengharamkan berobat dengan zat yang najis atau yang haram, kecuali dalam keadaan darurat. (Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz XIII).
2. Sebagian ulama, seperti Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Syafiiyah menghukumi bolehnya berobat dengan zat yang najis. (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz VI).
3. Sebagian ulama lainnya, menyatakan makruh hukumnya berobat dengan zat yang najis atau yang haram. (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III).
Menurut penulis, pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam masalah ini adalah pendapat ketiga, yang memakruhkan berobat dengan zat yang najis atau yang haram, karena dalilnya lebih kuat. Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah III, berobat dengan sesuatu yang najis/haram hukumnya makruh, bukan haram. Dalil kemakruhannya dapat dipahami dari dua jenis hadis, yaitu adanya hadis-hadis yang melarang berobat dengan sesuatu yang haram/najis, dan ada pula hadis-hadis yang membolehkan berobat dengan sesuatu yang haram/najis. Adanya hadits kedua ini menjadi indikasi bahwa larangan yang ada pada hadis pertama bukanlah larangan tegas (haram), namun larangan tidak tegas (makruh). Hadis yang melarang berobat dengan sesuatu yang haram/najis yaitu :
“Sesungguhnya Allah-lah yang menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia menjadikan obat bagi setiap-tiap penyakit. Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud)
Dari hadis tersebut, tidak otomatis berobat dengan sesuatu yang haram hukumnya haram, karena hadis larangan itu tidak bersifat tegas. Olehkarenanya diperlukan dalil lain sebagai indikasi apakah larangan ini bersifat jazim (tegas haram), ataukah tidak jazim (makruh). Dalam Sahih Bukhari terdapat hadis yang menyatakan, bahwa orang-orang suku ‘Ukl dan Urainah datang ke kota Madinah menemui Rasulullah lalu masuk Islam. Kemudian mereka sakit karena tidak cocok dengan makanan Madinah. Rasulullah lalu memerintahkan mereka untuk meminum air susu unta dan air kencing unta. (Sahih Bukhari). Begitu pula di dalam Musnad Imam Ahmad, Rasulullah pernah memberi keringanan kepada Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam untuk mengenakan sutera karena keduanya menderita penyakit kulit. (HR Ahmad). Kedua hadis ini menunjukkan bahwa bolehnya kita berobat dengan sesuatu yang najis, yaitu air kencing unta, dan sesuatu yang haram, yaitu sutera bagi laki-laki. (Fahad bin Abdullah Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Ath-Thabib). Kedua hadis ini menunjukkan bahwa larangan berobat dengan sesuatu yang najis/haram tidak haram, tetapi makruh. Namun, mengingat adanya khilafiyah di kalangan ulama dalam hukum berobat dengan sesuatu yang haram ini, maka sebaiknya kita mencari obat yang bahannya suci dan tidak diharamkan. Inilah tugas pemerintah untuk mengadakan obat-obatan yang halal!
Pemerintah sebagai pelayan umat, sebagai permimpin umat sudah selayaknya menjaga rakyatnya untuk tetap mengonsumsi makan dan obat-obatan yang halal. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengurusi sesuatu dari urusan umat Islam kemudian ia tidak memperhatikan kepentingan, kedukaan dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak akan memperhatikan kepentingan, kedukaan dan kemiskinannya nanti pada hari Kiamat” (HR. Abu Daud dan Turmudzi). Tidak selayaknya negara yang mayoritas muslim dalam berobat tidak terjaga kehalalannya.
Namun jika tidak memungkinkan dilakukan oleh pemerintah karena adanya agama lain yang “mengharamkan” sapi, maka sudah selayaknya pemerintah memaksa para produsen baik makanan maupun obat-obatan untuk mencantumkan logo “bersumber babi” pada kemasannya dengan digit warna hitam di atas dasar berwarna putih. Sedangkan pada bahan pangan, selain digit “mengandung babi” disertakan pula gambar babi.
Bagaimanapun pengadaan obat-obatan halal harus ada! Para cendikiawan Muslim, para politisi Muslim, mahasiswa Muslim, dokter-dokter Muslim harus terus mendesak pemerintah untuk bertindak tegas dalam hal ini. Ketersediaan obat-obatan halal bertujuan agar semua masyarakat muslim dapat keluar dari perbedaan ulama, sebab kaidah fiqih menyebutkan,”Al-Khuruj minal khilaf mustahab.” (Menghindarkan diri dari persoalan khilafiyah adalah sunnah). (Imam Nawawi, Syarah Muslim) Wallahu a’lam… [Y-A]
Referensi
1. An-Nabhani. 2009. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Jilid III. Jakarta
2. Jurnal Halal MUI. 2010. Bahan Haram dalam Obat. Halalmui.org
3. Titik kritis Kehalalan Bahan Obat-obatan, 2007. LPPOM Pusat
(Sumber: I-Med Edisi 2/2010/BAI FK Unissula - FULDFK)
Post a Comment