“Inilah Sosok Dokter yang Mampu Bertahan Seiring Berjalannya Waktu”
Manusia dibekali oleh Allah dengan potensi kehidupan, atau bahasa kerennya Attaqah Alhayawiyyah. Dari potensi kehidupan itu terdapat dua cabang, cabang pertama yaitu naluri (bahasa kerennya : gharizah), dan cabang kedua yaitu kebutuhan jasmani (bahasa kerennya : hajatul udhawiyah). Keduanya mutlak ada pada diri manusia dan binatang. Kebutuhan jasmani tentunya berbeda dengan naluri. Demikian pula kebutuhan jasmani tidak sama dengan kebutuhan naluri. Kebutuhan jasmani akan muncul dengan sendirinya tanpa harus dimunculkan atau dirangsang. Sedangkan kebutuhan naluri akan muncul jika mendapat stimulus atau rangsangan.
Naluri (Gharizah) Naluri sangat beragam macamnya. Ada naluri beragama (gharizah tadayyun), naluri mempertahankan diri (gharizah baqa), dan naluri mempertahankan jenis (gharizah nau’). Berikut akan penulis jelaskan satu per satu. Pertama, yang dimaksud naluri beragama (gharizah tadayun) yaitu sebuah naluri yang mendorong diri sendiri untuk mengkultuskan sesuatu yang memiliki kekuatan. Ada yang mengkultuskan sapi, ada yang mengkultuskan matahari, ada juga yang mengkultuskan api. Namun kita sebagai seorang muslim tentunya mensucikan yang Mahasuci yaitu Allah, Rabb kita. Stimulus pada naluri ini muncul ketika manusia merasa lemah menghadapi problem yang sangat besar. Ia akan cenderung pasrah, mengeluh dan berdoa kepada yang diyakini memiliki kekuatan untuk mengeluarkan dirinya dari problem yang melilitnya. Yang kedua, naluri mempertahankan diri (gharizah baqa). Contohnya sangat sederhana, kita dan binatang (tidak bermaksud menyamakan dengan binatang lho!) akan melawan kalau diganggu. Coba deh kamu injak ekor kucing, pasti kamu dicakar (hehe…). Atau kamu dihina, pasti merasa ‘panas’ dan emosi. Itulah yang dimaksud naluri mempertahankan diri. Adanya rangsangan dari luar untuk selanjutnya menimbulkan reaksi. Kita akan memberikan reaksi atas ancaman yang mengancam diri kita. Stimulus inilah yang akan membangkitkan naluri mempertahankan diri. Yang ketiga, naluri mempertahankan jenis (gharizah nau’) yaitu naluri untuk bereproduksi. Manusia dan binatang semuanya bereproduksi untuk memperoleh keturunan. Naluri ini tidak akan muncul jika kita sekedar diam-diam saja. Naluri ini muncul jika ada rangsangan, misalnua ketika kita membayangkan atau melihat hal-hal yang bisa membangkitkan naluri sex yang pada akhirnya meminta kita untuk memenuhinya. Olehkarenanya kita harus mengedalikan stimulus naluri ini pada tempatnya.
Kebutuhan jasmani (Hajatul Udhawiyah) Kebutuhan akan makan, minum, buang air, tidur dan lain-lain merupakan kebutuhan mutlak pada manusia. Hajatul udhawiyah ini akan muncul dengan sendirinya. Kalo pun kita sekedar diam-diam saja, kita pasti akan merasa lapar, dan rasa lapar itu akan mendorong kita untuk makan. Selain lapar, kita sebagai manusia akan merasakan haus dan mengantuk. Maka rasa haus dan mengantuk itu akan meminta kita untuk minum dan tidur. Dan begitu seterusnya. Kebutuhan jasmani akan mucul dengan sendirinya pada manusia tanpa proses stimulus atau rangsangan. Berbeda dengan naluri. Naluri tidak bisa muncul dengan sendirinya tanpa rangsangan. Kita akan merasa butuh kepada Allah jika kita terus terpapar dengan lingkungan yang mendekatkan diri kita kepada Allah, teman-teman yang shalih dan media-media yang mendekatkan diri kepada Allah. Paparan inilah yang akan membangkitkan sebuah naluri beragama (gharizah tadayun).
Dokter-dokter akan terus bertahan di era apapun kalau mereka mendapatkan stimulus nilai-nilai syariah. Nilai-nilai ini tidak bisa didapat kecuali dengan mengikuti halaqah (pembinaan) atau majelis-majelis ilmu lainnya. Halaqah merupakan media untuk menstimulus atau merangsang naluri beragama (gharizah tadayun) seorang dokter untuk terus terikat kepada syariah. Ia akan mendapatkan nasihat dan pencerahan setiap pekan dari musyrif / murabbi (guru) yang nantinya akan menjadi bekal dalam menjalani profesinya. Seorang dokter yang tidak mengikuti halaqah atau majelis-majelis ilmu sangat sulit untuk istiqamah. Satu demi satu sunnah akan ditinggalkannya secara tidak sadar karena memang tidak ada yang membimbing, mengontrol, mengevaluasi dan memotivasinya.
Karakter naluri ialah membutuhkan stimulus. Jangan berharap ketika kita diam-diam saja maka akan muncul sebuah komitmen untuk taat kepada Allah, menjadi dokter yang melayani umat dan berjuang untuk agama secara ikhlas lillahi ta’ala. Jangan berharap mendapat hidayah hanya dengan berdiam diri saja. Olehkarenanya, marilah kita munculkan stimulus-stimulus yang bisa mendekatkan diri kepada Allah dengan media apapun. Munculkan suasana Islami di rumah kita, di laptop kita dan di otak kita. Benahi majalah-majalah kita dengan memulailah berlangganan majalah Islam, mengganti keteladanan kita dari keteladanan kepada ilmuwan Barat menuju keteladanan kepada para mujahidin yang ikhlas. Munculkan berbagai macam dorongan-dorongan lewat media apapun untuk ingat kepada Allah, ingat kepada Ibadah dan ingat akan pertanggungjawaban di hari akhir. Sebuah naluri membutuhkan stimulus. Tanpa stimulus, maka naluri beragama akan redup. Nyala api sebuah naluri beragama tidak akan mampu ‘membakar’ diri kita untuk selalu termotivasi dalam ketaatan. Semoga diri kita dihindarkan dari naluri beragama yang rapuh yang nantinya hanya akan mendapatkan murka dari Allah. Naudzubillaah…
Dokter Berkepribadian Islami Islam mengatur hidup kita dari bangun tidur sampai bangun negara! Hebat kan?! Kepribadian manusia terbentuk oleh pola pikir (aqilyah) dan pola sikap (nafsiyah). Bentuk tubuh, wajah, keserasian fisik dan sebagainya bukan unsur pembentuk kepribadian. Pola pikir Islam (Aqliyah Islamiyah) adalah jika seseorang selalu berlandaskan aqidah Islam dalam memikirkan sesuatu hal dalam upaya mengambil suatu keputusan. Sehingga jika landasannya bukan Islam, maka pola pikirnya merupakan pola pikir yang lain. Sedangkan pola sikap Islami (Nafsiyah Islamiyah) adalah jika seseorang dalam memenuhi kebutuhan jasmani dan dorongan nalurinya berdasarkan Islam. Jika pemenuhan tersebut tidak dilakukan dengan cara seperti itu, maka pola sikapnya merupakan pola sikap yang lain. Tidaklah cukup jika kepribadian Islam hanya tercermin pada pola pikirnya yang Islami, sementara pola pikirnya tidak. Karena nantinya malah beribadah kepada Allah dengan kebodohan. Misalnya, kita berpuasa pada hari yang diharamkan. Bisa juga kita bersodaqoh dengan riba, dengan anggapan bisa mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kata lain, sebenarnya melakukan kesalahan tetapi menyangka telah melakukan kebajikan. Akibatnya, dalam memenuhi tuntutan gharizah dan hajatul udhawiyah tidak sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Ini kesalahan yang banyak terjadi di sekitar kita. Sesungguhnya kepribadian Islam tidak akan berjalan dengan lurus, kecuali jika pola pikir orang tersebut adalah pola pikir Islami dan pola sikapnya adalah pola sikap Islami. Dokter yang berkepribadian Islam inilah yang insya Allah mampu bertahan seiring berjalannya waktu. Terus istiqamah dalam komitmennya.
Dokter yang berkepribadian Islami bukan berarti didalam dirinya tidak pernah ada kesalahan. Tetapi (kalau ada), kesalahan tersebut tidak akan mempengaruhi kepribadiannya selama kesalahanya bukan perkara pangkal, melainkan pengecualian (kadang terjadi, kadang tidak). Alasannya, karena manusia bukanlah malaikat. Dia bisa saja melakukan kesalahan, lalu memohon ampunan dan bertaubat. Bisa juga dia melakukan kebenaran, lalu memuji Allah atas kebaikan, karunia, dan hidayah-Nya. Wallaahu a’lam. [Y-A]
Referensi : 1. Materi Dasar Islam Dari Akar Sampai Kedaunnya. BKLDK Nasional. 2. Membangun Syakhsiyah Islamiyah. Rokhmat S. Labib. MEI. 3. Pilar-pilar Pengokoh Nasfsiyah Islamiyah.
(Sumber: I-Med Edisi 3/2011/BAI FK Unissula - FULDFK)
Post a Comment