Oleh : dr. Ridha Wahyutomo (Pembimbing BAI FK Unissula)
Pendahuluan
Acinetobacter pertama kali diidentifikasi oleh Brisou dan Prevot pada tahun 1954. Kemudian oleh Beijerinck dari Delft Belanda, diisolasi dari tanah dan disebut sebagai micrococcus calco aceticus. Sebelum tahun 1986, pembagian species Acinetobacter dikelompokkan dalam berbagai kriteria. Namun standar identifikasi akhirnya mengacu kepada DNA-DNA hybridization yang dilakukan oleh Rossau pada tahun 1991. Dari hasil standarisasi tersebut didapatkan 19 genom spesies. Acinetobacter baumannii biasa ditemukan di lingkungan klinik, Acinetobacter johnsonii dan Acinetobacter lwoffii merupakan flora normal pada kulit manusia, ditemukan pula pada tanah dan lumpur.
Morfologi dan Biokimia
Secara morfologi, Acinetobacter merupakan kuman cocobacil yang kadang menyerupai Neisseria karena bentuk diplococcus, non motil, gram negative, tidak membentuk spora. Merupakan kuman aerob yang tidak menghasilkan warna ungu dalam reaksi dengan 1% tetramethyl p-phenylenediamine (tes oxidase negative) dan hal inilah yang membedakan Acinetobacter dengan Neisseria. Namun menghasilkan gelembung oksigen saat bereaksi dengan H2O2 (tes katalase positif). Selain itu juga mereduksi nitrat.
Epidemiologi
Acinetobacter dapat ditemukan secara bebas di tanah dan air. Kuman ini dapat diisolasi dari makanan terutama hasil olahan binatang dan dari kulit manusia normal. Dapat pula didapatkan dari membrane mukosa, sekresi vagina, sputum, urin, feces ataupun dari lingkungan rumah sakit. Dari lingkungan rumah sakit dapat diisolasi dari bak dialisa peritoneal, bed urinal, lap, kateter angiografi, hanscoen, bantal pasien, dan sebagainya.
Dalam dua decade ini Acinetobacter menjadi perhatian dan dianggap sebagai sumber infeksi oportunistik yang diwaspadai di rumah sakit. Selain itu Acinetobacter juga menunjukkan pola resistensi terhadap antibiotika, yang menyebar dengan cepat sebagai infeksi nosokomial. Di ruang ICU sering diapatkan pada tractus respiratorius. Pada bangsal umum isolate didapatkan dari luka, tractus urinarius.
Acinetobacter memicu outbreak nosokomial yang mengacu paa klasifikasi epidemic di rumah sakit menurut Hansen. Criteria Hansen tersebut yaitu,
1. Epidemic rumah sakit dipicu oleh satu tipe spesies
2. Epidemic rumah sakit dipicu oleh tipe yang berbeda dari setiap spesies atau spesies berbeda.
3. Epidemic rumah sakit dipicu oleh spesies berbeda dengan pola resistensi antibiotika sama
Penyebaran tersebut tampaknya berasal dari tangan staf kesehatan yang kontak dengan pasien yang terdapat kolonisasi Acinetobacter.
Berdasarkan data dari National Nosocomial Infections Surveillance (NNIS) tahun 1990 sampai 1992 dan dipimpin oleh CDC, menemukan Acinetobacter 4% menjadi penyebab nosokomial infeksi pneumonia. Sering ditemukan dalam bentuk VAP (Ventilator Acquired Pneumonia. Infeksi lain oleh karena Acinetobacter termasuk bakterimia, ISK, meningitis, endocarditis, infeksi okuler, osteomyelitis, dan peritonitis. Secara umum, infeksi Acinetobacter berhubungan dengan peralatan medis yang lau terjadi pada saat system pertahanan tubuh gagal sebagai kelanjutan adanya luka atau pembedahan. Neonates sangat rentan terhadap infeksi Acinetobacter.
Acinetobacter lwoffii diketahui juga berperan dalam bakteremia dengan tanda-tanda sepsis yang berat. Pada usia lanjut, bakteremia terjadi pada kondisi penyakit berat seperti malignansi, luka bakar, trauma, kolonisasi pada tractus respiratorius pasien luka bakar dengan intubasi. Pada pasien kateterisasi bakteremia terjadi meskipun tanpa melibatkan penyakit yang mendasari.
Meningitis oleh karena Acinetobacter tanpa kecuali, juga menjadi efek oleh karena intervensi neurosurgical.
CAP oleh karena Acinetobacter jarang terjadi namun merupakan penyakit berat. Alkoholisme, merokok, COAD dan DM merupakan faktor predisposisi. Pasien biasanya mengalami sakit akut dengan gejala dyspnoea, demam, batuk produktif, dan nyeri dada oleh karena pleuritis. Perjalanan klinis dapat memburuk dengan adanya syok, hypoxemia berat, granulocytopenia dan kultur darah positif.
Pathogenesis
Acinetobacter merupakan kuman oportunis. Meskipun hidup pada pH asam dan di suhu rendah, namun dapat menyerang jaringan vital.
Acinetobacter memiliki daya toksik/virulensi yang setara dengan Escherichia, Serratia marcescens, and Pseudmonas aeruginosa. Kapsul tidak berhubungan dengan virulensi. Tetapi kapsul meningkatkan aktifitas bunuh E.coli, S. marcescens dan P. aeruginosa. Pada isolate klinik didapatkan kerusakan jarinagn lemak oleh karena enzim yang menghidrolisis asam lemak rantai pendek. Endotoxin Acinetobacter menunjukkan aktifitas toksik yang sama dengan Enterobacteriaceae. Walaupun terdapat endotoxin yang merupakan senyawa lipopolisakarida, namun belum diketahui potensi endotoksik pada manusia.
Kuman ini juga mampu memproduksi bakteriocin dan bertahan hidup dalam kondisi kering.
Manifestasi Klinik
* Tractus Respiratorius
Merupakan tempat paling sering didapatkan Acinetobacter karena kolonisasi di faring di orang sehat dan pada tracheostomy. Pada anak sehat dapat menyebabkan community acquired bronchiolitis dan tracheobronchitis. Dapat pula terjadi tracheobronchitis pada dewasa. CAP oleh karena Acinetobacter pada dewasa dapat didasari alkoholisme, merokok, COAD dan DM. Pasien biasanya mengalami sakit akut dengan gejala dyspnoea, demam, batuk produktif, dan nyeri dada oleh karena pleuritis. Perjalanan klinis dapat memburuk dengan adanya syok, hypoxemia berat, granulocytopenia dan kultur darah positif.
CAP oleh karena Acinetobacter lebih sering terjadi pada daerah tropis, daerah dengan tingkat kesehatan rendah, penggunaan penicillin sering.
Akibat terbesar yang ditimbulkan oleh infeksi Acinetobacter adalah nosokomial pneumonia, yang lebih banyak oleh karena pemakaian ventrikulator, VAP. Infeksi pneumonia nosokomial ini dapat dipicu oleh intubasi ET, tracheostomy, terapi antibiotic sebelumnya, didapatkan dari ICU, tindakan bedah yang baru saja, penyakit paru yang mendasari.
ICU yang seharusnya steril dapat memberikan kontribusi penularan Acinetobacter dari alat ventrilator, hanscoen, perawat dengan kolonisasi Acinetobacter, cairan nutrisi parenteral yang terkontaminasi.
* Bacteremia
Nosokomial bakteremia oleh karena Acinetobacter biasanya berhubungan dengan adanya penyakit pada tractus respirasi, i.v. cath, tractus urinarius, luka, kulit, dan infeksi abdomen. Kadang disertai pula dengan syok septic dan dapat terjadi kematian pada Acinetobacter bakteremia.
* Genitourinary
Pada pasien dengan urethritis “menyerupai gonorrhea” yang resistensi penicillin kadang disalahartikan sebagai akibat infeksi Acinetobacter. Meskipun tractus urinarius bagian bawah terdapat kolonisasi Acinetobacter, namun jarang invasif. Walaupun begitu ada data yang menunjukkan terjadinya cystitis dan pyelonephritis pada pasien dengan kateter menetap.
* Meningitis
Meningitis oleh karena Acinetobacter jarang terjadi. Meskipun jika ditemukan berasal dari prosedur bedah saraf. Meningitis bermanifestasi kasar. Gambaran rash petechie tampak pada Acinetobacter meningitis.
* Jaringan lunak
Acinetobacter dapat menimbulkan cellulitis yang dihubungkan dengan i.v cath. Pada luka, trauma, luka bakar, dan insisi post operasi. Hal ini karena Acinetobacter dapat tubuh subur pada jaringan dan benda asing.
* Jaringan lain
Acinetobacter dapat menimbulkan infeksi di seluruh jaringan tubuh. Pada mata dapat menyebabkan conjungtivitis, endopthalmitis, perforasi kornea oleh karena kontaminasi contact lens. Endocarditis oleh karena katup buatan, osteomyelitis, septic arthritis, abses liver dan pancreas, juga pernah dilaporkan oleh karena Acinetobacter.
Terapi
Sangat sedikit dari antibiotik yang digunakan secara efektif untuk menangani infeksi nosokomial oleh karena Acinetobacte, terutama pada pasien di ICU. Antibiotika β Lactam hanya dapat dipakai setelah ada tes sensitivitas. Ticarcillin, sering dikombinasikan dengan sulbactam, ceftazidime, atau imipenem, dapat dipakai. Aminoglycosida kadang efektif bila dikombinasi dengan β Lactam, dan kombinasi lain dari β Lactam dengan satu fluoroquinolone atau rifampin juga pernah dikemukakan. Pada sebuah survei retrospektif di Perancis dari kebiasaan penulisan resep pada ICU, yang pertama diberikan untuk infeksi Acinetobacter meliputi amikacin, imipenem, ceftazidime, atau salah satu quinolone (pefloxacin atau ciprofloxacin). Pada 56% kasus, imipenem dianggap baik sebagai agen tunggal atau dikombinasi dengan amikacin (18%), sementara ceftazidime ditambah amikacin ditemukan pada 17% kasus dan amikacin dipergunakan seperti agen tunggal pada 26% kasus. Pada penelitian penggunaan antibiotika setelah tes kepekaan secara in vitro, kombinasi dari imipenem dengan aminoglycoside dipergunakan pada 59% kasus, ceftazidime dengan aminoglycoside dipergunakan pada 30% kasus, dan ceftazidime dikombinasi dengan quinolone dipergunakan pada 11% kasus. Pada penelitian sebelumnya didapatkan bahwa imipenem dipergunakan sebagai monotherapy pada 20% dari 33 kasus infeksi nosokomial, imipenem di kombinasi dengan amikacin dipergunakan pada 40% kasus, dan pefloxacin ditambah amikacin atau tobramycin (bergantung kepada antibiogram) dipergunakan pada 20% kasus. Kegagalan tata laksana dan kematian (disebabkan oleh infeksi Acinetobacter atau penyakit yang mendasari) terjadi pada 17% pasien yang mendapat antibiotika. Umumnya, antibiotika terbaru yang disrankan sebagai pilihan terapi infeksi Acinetobacter adalah penisilin spektrum luas, cephalosporins spectrum luas, atau imipenem, dikombinasikan dengan satu aminoglycoside.
dr. Ridha Wahyutomo, Mahasiswa PPDS-Mikrobiologi Klinik FK UNDIP 22/12/2010 03:00 WIB
Post a Comment