Artikel hanya salah satu materi perkuliahan dari dr. Ahmadi, Sp.KJ.
Hukum Praktikum Bedah Mayat (Otopsi)
Otopsi (bedah mayat) adalah pemeriksaan mayat dengan pembedahan. Ada tiga macam otopsi; (1) otopsi anatomis, yaitu otopsi yang dilakukan mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. (2) otopsi klinis, yaitu otopsi untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit (misal jenis penyakit) sebelum mayat meninggal. (3) otopsi forensik, yaitu otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau kematian yang mencurigakan, untuk mengetahui sebab kematian, menentukan identitasnya, dan sebagainya. Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum otopsi di atas dalam dua pendapat.
Pertama, membolehkan ketiga otopsi itu, dengan alasan dapat mewujudkan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Ini pendapat Hasanain Makhluf, Said Ramadhan Al-Buthi, dan beberapa lembaga fatwa seperti Majma’ Fiqih Islami OKI, Hai`ah Kibar Ulama (Saudi), dan Fatwa Lajnah Da`imah (Saudi). (As-Sa’idani, Al-Ifadah Al-Syar’iyah fi Ba’dh Al-Masa`il Al-Thibiyah, h. 172; As-Salus, Mausu`ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashirah, h. 587; Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, h. 170; Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Al-Thabib, h. 90).
Kedua, mengharamkan ketiga otopsi itu, dengan alasan otopsi melanggar kehormatan mayat, yang telah dilarang berdasarkan sabda Nabi SAW,”Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (kasru ‘azhmi al-mayyit ka-kasrihi hayyan). (HR Abu Dawud, sahih).
Ini pendapat Taqiyuddin An-Nabhani, Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan As-Saqaf. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, h. 170; Nasyrah Soal Jawab, 2/6/1970).
Menurut kami, pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat kedua, yang mengharamkan ketiga jenis otopsi, termasuk otopsi dalam rangka praktikum mahasiswa kedokteran, karena : (1) pendapat yang membolehkan berdalil kemaslahatan (Mashalih Mursalah), padahal Mashalah Mursalah bukan dalil syar’i yang kuat. Menurut Imam An-Nabhani, Mashalih Mursalah tidak layak menjadi dalil syar’i. (An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/444). (2) terdapat hadis-hadis sahih yang melarang melanggar kehormatan mayat, seperti mencincang, menyayat, atau memecahkan tulangnya sebagaimana di atas.
Namun, keharaman otopsi ini hanya untuk mayat muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, h. 179; Nashiruddin Al-Albani, Ahkam Al-Jana`iz, h. 299). Sebab di samping hadis dengan lafal mutlaq (tak disebut sifatnya, yaitu semua mayat), ternyata ada hadis sahih dengan lafal muqayyad (disebut sifatnya, yaitu mayat mu`min/muslim), yakni sabda Nabi SAW, “Memecahkan tulang mu`min yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup.” (kasru ‘azhmi al-mu`min maytan mitslu kasrihi hayyan.) (HR Ahmad, no 23172 & no 25073; Malik, Al-Muwathha`, 2/227; Ad-Daruquthni, 8/208; Ibn Hajar, Fathul Bari, 14/297; at-Thahawi, Musykil Al-Atsar, 3/281; Al-Albani, Shahih wa Dhaif Al-Jami’ Ash-Shaghir, 9/353). Kaidah ushuliyah menyebutkan, “Lafal mutlak tetap dalam kemutlakannya hingga datang lafal yang muqayyad.” (Al-muthlaqu yabqa ‘ala ithlaaqihi maa lam yarid dalil at-taqyid).
Kesimpulannya, otopsi hukumnya haram jika mayatnya muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. Wallahu a’lam
Muhammad Shiddiq Al-Jawi http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=577&Itemid=33
Post a Comment