Shalafus Shalih mengimani dengan yakin bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.. Mereka memahami makna istiwa’ dalam bahasa Arab yaitu “Tinggi, di Atas”. Mereka menyatakan bahwa ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya tidak sama dengan mahluk-Nya. Tidak seperti seorang raja di atas singgasananya.
“Sesungguhnya Rabb kalian ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia beristiwa’ di atas 'Arsy…” (QS. Al-A’raaf: 54 dan QS. Yunus: 3)
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia beristiwa’ di atas 'Arsy …” (QS. Ar-Ra'd: 2)
”(Yaitu) Ar-Rahman yang beristiwa’ di atas ‘Arsy.” (QS. Thaha: 5)
Berkata Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash-Shabuni: “Ashhabul hadits meyakini dan mempersaksikan bahwa Allah di atas tujuh lapis langit, di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana Ia sebutkan dalam kitab-Nya”. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal.44)
Berkata Abdullah ibnul Mubarak; “Kami mengenali Rabb kami di atas tujuh lapis langit, tinggi di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari mahluk-Nya. Dan kami tidak berkata seperti ucapan Jahmiyah bahwa Dia ada di sini (sambil menunjuk ke bumi)”. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal.46-47)
Berkata Muhammad bin Ishak ibnu Huzaimah: “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya, tinggi di atas tujuh lapis langit, maka dia kafir kepada Rabb-nya; halal darahnya, diminta taubat kalau mau bertaubat; kalau tidak mau bertaubat, maka dipenggal lehernya, dibuang jasadnya ke tempat-tempat pembuangan sampah agar tidak mengganggu kaum muslimin dan para mu’ahad dengan busuknya bau bangkai mereka. Hartanya menjadi fa’i (rampasan perang untuk baitul maal). Tidak boleh mewarisinya seorang pun dari kaum muslimin, karena seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir sebagaimana ucapan Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim.” (Shahih. HR. Bukhari Muslim) (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 47)
Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah berdalil atas tidak bolehnya memerdekakan budak yang kafir untuk kaffarah dengan riwayat dari Mu’awiyah bin Hakam, ketika ia ingin memerdekakan budak perempuan hitam sebagai kaffarah, maka Rasulullah pun mengujinya dengan bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di langit”. Kemudian beliau bertanya lagi: “Siapa Aku?” Maka budak itu menjawab dengan mengisyaratkan dengan jarinya kepada beliau dan ke langit. Yakni engkau adalah utusan yang di langit. Maka Rasulullah bersabda : “Merdekakanlah dia, karena dia adalah seorang mukminah.” (Shahih. HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Huzaimah).
Allah berfirman : “Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang ada di langit bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? Atau apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang ada di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatanKu? (QS. al-Mulk: 16-17).
Rasulullah bersabda : “Ketahuilah, apakah kalian tidak mempercayaiku, padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang di langit? Datang kepadaku berita langit pada waktu pagi dan sore.” (HR. Muslim)
Syubhat (kerancuan) : Allah dibatasi oleh Arsy karena hal itu merupakan konsekuensi dari pernyataan ”Allah berada di atas ’Arsy”, sedangkan ’Arsy merupakan benda yang terbatas.
Ahlussunnah menjawab : Keberadaan Allah tinggi di atas ’Arsy-Nya (meski ’Arsy adalah benda yang terbatas) tidak mengharuskan makna yang batil. Karena Allah benar-benar berada tinggi di atas ’Arsy-Nya dengan sifat ketinggian yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, serta tidak serupa dengan sifat ketinggian makhluk di atas makhluk lainnya. So, tidak mengharuskan Allah terbatasi. Ketinggian ini khusus terkait dengan ’Arsy, sedangkan ’Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi (paling atas). Maka Allah berada paling tinggi di atas segala sesuatu. Wallahu a’lam bishshowab.
Referensi : 1. Aqidah al-Wasitiyah. Karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. 2. Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri
Post a Comment